Asumsi Yang Salah


Yang tertinggal dimasa lalu takkan pernah bisa diraih lagi. Bukankah kau yang mengajarkanku untuk memahami realitas sebuah realita?. Meskipun memanipulasi perasaan berulang kali, pada akhirnya hanya semakin menegaskan kekalahanku saja. Ya, aku memang telah kalah. Kalah telak pada asumsiku sendiri.
Kukira kau telah terlampau jauh, aku takut tak mampu menyusulmu. Maka aku menyerah saat kau ternyata berada lebih dekat dari pikiranku. Lalu kukira kau telah dekat, aku merasa dapat menggenggammu kali ini, tapi aku hanya mendapat malu, pada asumsi dan persepsi yang tak bisa searah realita, kau mentertawaiku, karena aku salah paham.

Saat itu aku berada di titik nadir kelemahanku, tak ada nasehat yang mampu membangkitkanku, kecuali satu, aku hanya butuh senyummu, aku hanya ingin sapaanmu, tapi lagi-lagi kau mencemoohku dengan kepergianmu ketempat yang kubenci. Saat itu aku hanya perlu jawaban atas semua ketidakpastiaan yang kusembunyikan dibalik optimisme berlebihan. Yang kupinta hanya kepastian bahwa kau dan aku memiliki sesuatu yang tertinggal dimasa lalu. Aku hanya butuh kau untuk berpaling sebentar dan menyetujui pikiranku. Berkata bahwa suatu hari, tak peduli seberapa lama, kau pasti kembali untuk membereskan kesalahpahaman yang terserak itu, menyelesaikan masalah yang belum tuntas diantara kita.

Ketika tanda tanya besar tak bisa kujawab dengan kebohongan, mengapa kau pergi dengan angkuhnya disaat aku benar-benar membutuhkanmu untuk selesaikan kesalahpahaman yang amat melukaiku. Apakah perasaanku semacam lelucon bagimu. Tapi aku tak pernah dendam, hanya kecewa. dan aku teruskan menunggumu.

Kau tak kembali, tak boleh kembali.

Kini, diantara kenangan yang menua, kesibukan dan usaha untuk melupakan, kau mulai hilang dari ingatan. Kau bukan lagi siapa-siapa, bukan sosok penting yang mampu mematahkan asumsiku pada ambisi. Anggap aku ambisius, tapi mulai saat ini dan seterusnya kau tidak termasuk dalam rancangan masa depanku . . .

Komentar

Postingan Populer